Integrasi system smart city

Kata-kata kunci : e-Government, interoperabilitas, model, web services.
INTISARI
Interoperabilitas antar aplikasi sistem informasi menjadi tuntutan mendesak dalam pengembangan e-Gov di Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan oleh adanya kebutuhan data multisektoral yang semakin meningkat dalam rangka pengambilan kebijakan untuk mengatasi problem yang melibatkan data dari antar sektor terkait. Sementara kondisi aplikasi di lingkungan pemerintah saat ini, umumnya masih bersifat sektoral, terpisah­pisah, tidak dapat saling berkomunikasi, dan heterogen. Interoperabilitas antar aplikasi e­Gov menjadi hal penting yang perlu segera dicari solusinya agar problem pengembangan e-Gov di Indonesia tidak berlarut-larut. Makalah ini merupakan hasil review pustaka yang mengungkap perkembangan e-Gov di Indonesia, problem interoperabilitas yang dihadapi, dan bagaimana model interoperabilitas antar aplikasi e-Gov dapat dibangun dengan mengimplementasikan model web services.

PENDAHULUAN
Semakin besarnya peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam proses bisnis membuat banyak lembaga berlomba mengimplementasikan TIK untuk proses terintegrasi. Salah satunya adalah melalui pengembangan Government (e-Gov), di mana idealnya implementasi e-Gov diharapkan dapat membantu meningkatkan interaksi antara pemerintah, masyarakat, dan bisnis sehingga mendorong perkembangan politik dan ekonomi. Inisiatif tentang pengembangan e-Gov di Indonesia telah dikenalkan melalui Inpres No. 6 Tahun 2001, namun berdasarkan hasil evaluasi, pengembangan e-Gov di Indonesia masih dijumpai banyak problem yang secara umum berpangkal dari kesalahan pandangan atau paradigma tentang Gov. Faktor teknis dan non teknis penghambat e-Gov juga telah diidentifikasi dalam beberapa kajian.
Interoperabilitas antar aplikasi juga menjadi tuntutan mendesak dalam pengembangan e-Gov di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan data multisektoral dalam rangka pengambilan kebijakan untuk mengatasi problem yang melibatkan data dari antar sektor terkait. Sementara kondisi aplikasi di lingkungan pemerintah saat ini, umumnya masih bersifat sektoral, terpisah, tidak dapat saling berkomunikasi, dan heterogen. Interoperabilitas antar aplikasi e-Gov menjadi hal penting yang perlu segera dicari solusinya agar problem pengembangan e-Gov di Indonesia tidak berlarut-larut.
e-Government (e-Gov) adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain, didalamnya melibatkan otomisasi dan komputerisasi pada prosedur paper-based yang akan mendorong cara baru dalam kepemimpinan, cara baru dalam mendiskusikan dan menetapkan strategi, cara baru dalam transaksi bisnis, cara baru dalam mendengarkan warga dan komunitas, serta cara baru dalam mengorganisasi dan menyampaikan informasi [Pascual, 2003]. Sementara Ahmadjayadi [2006] mengartikan e-Gov sebagai kegiatan yang terkait dengan upaya seluruh lembaga pemerintah dalam bekerja bersama-sama memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sehingga dapat menyediakan jasa layanan elektronik dan informasi yang akurat kepada individu masyarakatdan dunia usaha.
Semakin besarnya peran TIK dalam proses bisnis membuat lembaga pemerintah berlomba-lomba untuk mengimplementasikan TIK untuk proses terintegrasi. Salah satunya adalah melalui implementasi e-Gov, di mana idealnya implementasi e-Gov diharapkan dapat membantu meningkatkan interaksi antara pemerintah, masyarakat, dan bisnis sehingga mampu mendorong perkembangan politik dan ekonomi [Supangkat, 2006]. Mengacu pada Inpres No. 6 Tahun 2001 aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat demokrasi. Penerapan Gov di setiap lembaga pemerintah mengacu pada tahapan pengembangan e-Gov nasional sesuai dengan kondisi setiap lembaga pemerintah, meliputi [Inpres No. 3 Tahun 2003]: 1).Tingkat persiapan: pembuatan situs web di setiap lembaga pemerintah; pendidikan SDM, penyediaan sarana akses publik, sosialisasi keberadaan layanan informasi elektronik untuk publik dan internal, pengembangan e-leadership dan awareness building, serta penyiapan peraturan. 2). Tingkat pematangan yaitu pembuatan situs informasi layanan publik interaktif; dan pembuatan hyperlink. 3). Tingkat pemantapan: penyediaan fasilitas transaksi elektronik; dan penyatuan aplikasi dan data dengan lembaga lain (interoperabilitas). 4). Tingkat pemanfaatan: pembuatan program layanan G2G, G2B, dan G2C terintegrasi; pengembangan proses untuk layanan e-Gov yang efektif dan efisien, dan penyempurnaan menuju kualitas best practice.
Administrasi publik adalah salah satu area di mana internet dapat digunakan untuk menyediakan akses layanan yang paling mendasar dan menyederhanakan hubungan masyaraka dan pemerintah bagi masyarakat. e-Gov dengan memanfaatkan layanan internet dapat dibagi dalam beberapa tingkat yaitu: penyediaan informasi, interaksi satu arah, dan interaksi dua arah dan transaksi (layanan elektronik penuh). Interaksi satu arah bisa berupa fasilitas download formulir yang dibutuhkan, pengumpulan formulir secara online merupakan contoh interaksi dua arah, sedangkan contoh layanan elektronik penuh adalah pengambilan keputusan dan proses pelayanan pembayaran [http://dishubkominfo.belitungkab.go.id/, 08-03-2012].
Hasil evaluasi pengembangan Gov di Indonesia menunjukkan masih dijumpai banyak problem, namun secara umum problem tersebut berpangkal dari kesalahan pada pandangan atau paradigma tentang e-Gov [Supangkat, 2006]. Setidaknya, terdapat delapan persepsi keliru tentang pengembangan e-Gov selama ini, yaitu [Nugroho, 2008]: 1). e-Gov adalah situs web lembaga pemerintah. Persepsi ini akan mereduksi makna e-Gov. 2). e-Gov adalah adanya ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur tidaklah identik dengan e-Gov. Tujuan Gov adalah menumbuhkan kekuatan pemberdayaan, dan infrastruktur harus dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih besar. 3). e-Gov adalah pembangunan sistem-sistem informasi. Akarpermasalahnnya adalah tidak selarasnya antara sistem-sistem yang terus akan dikembangkan dengan proses-proses birokrasi yang dilakukan sehari-hari, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, sehingga tujuan dasar sistem-sistem informasi untuk mendukung proses penyelenggaraan pemerintahan tidak optimal. 4). e-Gov harus dikembangkan secara bertahap karena alasan keterbatasan biaya. Keterbatasan biaya adalah kekangan, bukan alasan dasar untuk melakukan pentahapan proses pengembangan e-Gov. Sedangkan alasan sebenarnya adalah perbedaan tingkat kesiapan masyarakat dalam pemanfaatan adanya TIK dan kesiapan pengembangan e-Gov. Ketersediaan rencana jangka panjang/induk, blueprint, dan variasinya sangat penting sebagai guideline bagi pentahapan proses pengembangan e-Gov. 5). e-Gov adalah pembangunan sistem informasi di berbagai SKPD. Saat ini, integrasi informasi menjadi syarat penting bagi terselenggaranya kegiatan program pemerintahan. Keberadaan sistem informasi-sistem informasi di SKPD tidak banyak berarti jika tidak diikuti dengan integrasi antar sistem. Integrasi ini mengidentifikasi jalur akses data dan informasi antar sistem untuk memenuhi kebutuhan informasi multisektor. 6). e-Gov hanya memerlukan SDM TIK. Fakta menunjukkan bahwa implementasi e-Gov tidak akan berhasil tanpa leadership dan kemampuan manajerial yang baik. 7). e-Gov adalah mahal. e-Gov adalah mahal jika investasi (infrastruktur, sistem informasi, dan lainnya) tidak bisa memenuhi sasaran, sebaliknya investasi menjadi tidak berarti jika implementasi TIK mampu menumbuhkan multiplier effect dengan outcome yang jauh lebih bernilai dibandingkan investasi. 8). Sasaran e-Gov adalah tuntasnya implementasi TIK. TIK hanyalah alat bantu untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu peningkatan pemberdayaan masyarakat, kualitas layanan publik, transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
Faktor penghambat implementasi e-Gov di Indonesia juga berhasil diidentifikasi, antara lain disebabkan oleh [Raharjo, 2001 ] :1).Rendahnya komitmen pemerintah dalam integrasi dan juga transparansi publik, 2). Minimnya budaya berbagi informasi. 3). Minimnya budaya tertib dokumentasi. 4). Resistensi perubahan. 5). Kelangkaan SDM yang handal. 6). Infrastruktur belum memadai dan mahal. 7). tempat akses yang terbatas.
Ketidakoptimalan pengembangan e-Gov di Indonesia disebabkan oleh: 1) master plan tidak mempunyai kekuatan formal, karena baru berupa kajian sehingga posisi strategis e-Gov sulit terealisasi secara optimal dan bukan merupakan kewajiban unit-unit, 2) organisasi pengambil keputusan tidak cukup kuat memastikan integrasi arsitektur, pengelolaan portofolio, dan eksekusi proyek TIK tahunan, dan 3) lemahnya koordinasi antar unit dalam rencana tahunan proyek TIK [Supangkat et. al, 2007].
Aspek non teknis, yaitu resistensi terhadap perubahan juga menghambat penerapan e-Gov. Problem ini terjadi karena [Indrajit, 2006]: 1). Ego sektoral lembaga masih tinggi sehingga menutup kemungkinan diatur atau bekerjasama dengan lembaga lain, 2). Anggapan bahwa sistem informasi di lembaga sendiri adalah terbaik dibanding lainnya, 3). Konteks kepentingan yang berbeda di setiap lembaga sehingga sulit dilakukan integrasi. 4).Keinginan menjadi pemimpin dalam integrasi. 5). Ketidakinginan saling membagi data dan informasi karena mengurangi keunggulan kompetitif. 6). Ketidaktahuan dari mana harus memulai integrasi sehingga kondusif untuk dilakukan sejumlah pihak terkait; dan sebagainya
Persaingan bisnis yang terus meningkat di benua Eropa di tahun 1990- an mengakibatkan banyak perusahaan melakukan integrasi antar perusahaan agar tetap bertahan dalam persaingan. Upaya integrasi ini menghadapi problem dan melahirkan konsep enterprise interoperability. Konsep tersebut diyakini lebih sesuai diterapkan dalam lingkungan perusahaan yang tersebar dan lebih fleksibel. Pendekatan enterprise interoperability memerlukan biaya relatif yang jauh lebih murah dan dapat diimplementasikan lebih cepat [Shorter, 1997]. Pertimbangan yang mendukung pernyataan tersebut adalah: 1) integrasi melalui pemodelan perusahaan terpadu, seperti CIMOSA [Shorter, 1997], atau 2) integrasi sebagai pendekatan metodologi untuk mencapai konsistensi pengambilan keputusan pada perusahaan besar, seperti usulan metodologi GRAI [Doumeingts et al.1998].
Michel [1997] menyatakan bahwa integrasi dapat diperoleh dalam tiga hal, yakni: data (model data), organisasi (model sistem dan proses), dan juga komunikasi (model pada jaringan komputer, misal model OSI). Integrasi total hanya akan terjadi pada perangkat lunak atau sistem itu sendiri. Integrasi dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu: 1) penyatuan dengan standarisasi (standarisasi metode, arsitektur, konstruksi, dan bagian model yang dapat digunakan kembali), atau 2) federasi (standarisasi interface, model referensi atau ontologi). Sementara Chen dan Vernadat [2004] menyatakan bahwa integrasi dapat dilakukan dengan cara berbagai cara disesuaikan dengan kepentingannya, namun pada dasarnya dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan, yakni: 1) integrasi fisik (interkoneksi perangkat, mesin NC, PLC, melalui jaringan komputer), 2) integrasi aplikasi (berkaitan dengan adanya interoperabilitas software aplikasi dan database dalam lingkungan komputasi yang heterogen ), dan 3) integrasi bisnis (koordinasi fungsi untuk mengelola, mengontrol, dan memonitor proses bisnis).
Terkait dengan perkembangan tentang integrasi dan interoperabilitas, pada tahun 2007 didominasi oleh pemodelan berbasis model, sedangkan tren masa depan lebih mengarah pada interoperabilitas sistem yang loosely-coupled dan meninggalkan solusi seragam yang memerlukan biaya tinggi dan keberhasilan integrasi yang rendah. Tantangan utama interoperabilitas sistem yang loosely-coupled adalah bagaimana mengembangkan model dan metodologi yang mengarah ke berbagai solusi interoperabilitas antar sistem yang diintegrasikan dengan lebih banyak mempertimbangkan aspek kebutuhan teknologi dan semantik konsep yang akan dipertukarkan dan dipahami secara bulat oleh semua pihak Molina et.al [2007]. Area riset terkait dengan solusi kebutuhan integrasi antar sistem, terdiri atas: 1). Kolaborasi jaringan organisasi, 2). pemodelan perusahaan dan model referensi, 3). interoperabilitas model perusahaan dan proses, 4). validasi, verifikasi, kualifikasi, dan akreditasi model perusahaan, serta 5). penggunaan kembali model dan repositori [Molina et.al, 2007].
Terkait dengan interoperabilitas antar aplikasi, telah dikembangkan sebuah model integrasi B2B berbasis SOA menggunakan layanan web services dengan studi kasus pada aplikasi e-shop yang mengintegrasikan situs Amazon, eBay, Yahoo!, dan Paypal. Model ini dikembangkan untuk mengatasi problem ketidakselarasan antara sistem bisnis dan sistem informasi yang berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda. Model yang akan dikembangkan membuka peluang untuk membawa definisi service ke level abstraksi yang lebih tinggi, berupa model level tinggi yang dapat ditransformasikan ke implemntasi services yang bebas platform. Dengan pendekatan ini dapat dipisahkan antara platform terendah, infrastruktur, dan implementasinya, dengan harapan mampu meningkatkan integrasi. Penggunaan gabungan metode ini memungkinkan penggunaan ulang dan peningkatan integrasi pada level model yang berbeda. Metode baru berupa metode integrasi berbasis SOA yang dikembangkan dari metode SOAD dan mBPDM berhasil ditemukan dan telah diujikan untuk melakukan analisis dan perancangan integrasi berbasis SOA, serta diimplementasikan menjadi 16 proses bisnis, 18 web servive, serta 6 aplikasi komposit [Utomo, 2011].
Penelitian lain telah berhasil mengembangkan model interoperabilitas sistem informasi layanan publik pada aplikasi e-Gov di Indonesia dengan studi kasus pada proses Sistem Informasi Kependudukan dan Perpajakan. Pada penelitian dilakukan untuk mengatasi problem kurangnya perhatian setiap instansi pemerintah untuk berbagi akses data dan informasi, serta belum adanya model interoperabilitas antar sistem informasi yang secara eksplisit dijelaskan dalam Inpres No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Gov, maupun pada blueprint aplikasi e-Gov. Model
interoperabilitas yang dikembangkan berdasarkan model web services dengan metode REST. Kebutuhan akan adanya interoperabilitas antar sistem informasi dipetakan berdasarkan keterkaitan antar skema database dengan menggunakan model web services, sehingga diperoleh model interoperabilitas antara dua sistem. Perancangan metode REST dilakukan menggunakan ROA yaitu model arsitektur yang berorientasi sumber daya informasi. Implementasi model interoperabilitas antar dua sistem informasi dilakukan menggunakan bahasa PHP dan database MySQL. Pengujian dilakukan melalui pengambilan data antar kedua sistem yang memiliki perbedaan platform database dan terletak pada lokasi fisik yang berbeda [Sukyadi, 2009].
Web services adalah sebuah software sistem yang dirancang untuk mendukung interoperabilitas interaksi mesin-ke-mesin melalui sebuah jaringan [WWW Consorsium, 2004]. Web services secara teknis memiliki mekanisme penunjang interoperabilitas antar aplikasi dengan melakukan interaksi antar aplikasi, baik yang berupa agregasi (pengumpulan) maupun adanya sindikasi (penyatuan). Web services juga memiliki layanan terbuka untuk kepentingan integrasi data dan kolaborasi informasi yang bisa diakses melalui internet oleh berbagai pihak melalui teknologi yang dimiliki masing-masing pengguna.
Sekalipun mirip dengan proses Application Programming Interface (API) berbasis web, web services memiliki keunggulan karena dapat dipanggil dari jarak jauh melalui internet, pemanggilan web services bisa menggunakan bahasa pemrograman apa saja, dan dalam platform apa saja, sementara API hanya bisa digunakan untuk platform tertentu [Lucky, 2008]. Web services dapat dipahami sebagai Remote Procedure Call (RPC) yang mampu memproses fungsi-fungsi program yang didefinisikan pada sebuah aplikasi web dan mengekspos sebuah API atau User Interface (UI) melalui web. Kelebihan penggunaan web services adalah: 1) lintas platform, 2). language independent, 3). jembatan penghubung dengan database tanpa perlu driver database dan tidak perlu tahu jenis DBMS, 4). mempermudah proses pertukaran data, dan 5). penggunaan kembali komponen aplikasi [Lucky, 2008]. Layanan fungsional web services dilakukan dalam empat langkah kegiatan, 3 diantaranya dilakukan oleh web services, yaitu: 1). entitas pengguna (requester entity), 2). entitas penyedia (provider entity), dan 3). entitas perantara (discovery entity) [Sukyadi, 2009].
Berdasarkan konsep hubungan dan penyampaian informasi, web services dikembangkan melalui 4 model arsitektur, masing-masing memiliki orientasi pada message, action, resource, dan policy. Pengembangan model yang diturunkan berdasarkan orientasi pada action (Service Oriented Model/SOM)) menghasilkan Services Oriented Architecture (SOA), yaitu model arsitektur berbasis layanan. Sementara pengembangan model yang diturunkan berdasarkan orientasi pada resource (Resource Oriented Model/ROM) yang menghasilkan adanya Resource Oriented Architecture (ROA), yaitu model arsitektur berbasis sumberdaya informasi [Sukyadi, 2009]. Dalam proses perkembangannya, model web services memiliki dua metode yang berorientasi pada layanan dan sumberdaya informasi, yaitu: SOAP (Simple Object Access Protocol) dan REST (REpresentational State Transfer). Impementasi web services model SOA telah banyak dilakukan dan dikembangkan oleh banyak vendor, seperti Microsoft, Sun dan IBM, melalui dukungan platform infrastruktur dotNet dan Java. Arsitektur SOAP memiliki tiga komponen utama dalam melakukan proses layanan yaitu: 1) service provider, 2) service requester, dan 3) service broker, serta komponen pendukung yaitu: 1). XML, 2) SOAP-XML (terdiri atas serta 4). UDDI [DSIPLK, 2008]. Metode REST diusulkan oleh Fielding [2000] dengan didasari oleh empat prinsip utama teknologi, yaitu: 1). Resource identifier through Uniform Resource Identifier (URI), 2). uniform interface (sumberdaya CRUD menggunakan operasi-operasi PUT, GET, POST, dan DELETE), 3). self-descriptive messages (sumberdaya tidak terikat sehingga dapat mengakses konten HTML, XML, PDF, JPEG, plain text, meta data, dll), serta 4). stateful interactions through hyperlinks (bersifat stateless) [Pautasso, 2008]. Metode REST lebih sederhana karena menggunakan format standar (HTTP, HTML, XML, URI, MIME), namun jika diperlukan proses pengambilan data, maka konten berupa teks dari hasil eksekusi web services dapat diolah dalam format teks seperti XML atau HTML dengan menggunakan utilitas komunikasi data melalui koneksi socket protokol HTTP. Utilitas ini umumnya tersedia dalam pustaka komunikasi pada bahasa pemrograman seperti Java, Visual Basic, Delphi, PHP, ASP, maupun JSP [Sukyadi, 2009].
Perbedaan mekanisme pada metode proses SOAP dan REST adalah [Sukyadi, 2009]: 1). Protocol layering dimana metode REST menganggap penggunaan protokol HTTP sebagai application-level protocol, sedangkan pada SOAP menganggap penggunaan protokol, khususnya HTTP sebagai transport-level protocol. 2). Dealing with heterogeneity metode SOAP dan REST memiliki kesamaan dalam penanganan keragaman komponen pada protokol HTTP, namun berbeda dalam dukungan antar vendor aplikasi browser dan enterprise computing. 3). Loose coupling dalam aspek time/availability dan location transparency, metode REST dan SOAP memiliki kecenderungan menjadi loose coupling (bebas ketergantungan akses), namun dalam aspek service evolution, metode REST memiliki loose coupling yang lebih tinggi daripada SOAP. Metode REST menggunakan format URI yang bebas dari bentuk format deskripsi, sedangkan dalam metode SOAP, perubahan yang terjadi dalam struktur fungsi web services akan mempengaruhi deskripsi web services di dalam WSDL, sehingga WSDL harus dirubah untuk menyamakan struktur dan tipe datanya. Akibatnya metode SOAP lebih kompleks dalam pengembangannya, sementara REST dapat dilakukan lebih cepat dan sederhana.
Implementasi SOA dalam e-Gov memungkinkan sharing informasi dapat dilakukan tanpa memberi hak akses secara langsung ke database bagi pihak yang mengaksesnya. Pengakses informasi pada aplikasi e-Gov di instansi pemerintah lain dapat menggunakan service yang disediakan oleh aplikasi Gov yang mendukung konsep-konsep interoperabilitas. Secara teknis SOA memisahkan antara pesan/query/call dengan bagian pengolahan database, sehingga wilayah privat dan publik dapat terpisah secara tegas. Bagian privat hanya dapat diakses oleh bagian penanggungjawabnya, sementara bagian publik dapat diakses oleh siapa pun melalui service yang disediakan. Agar pesan/query/call dapat digunakan oleh pengguna lain, maka harus disusun berdasarkan standar tertentu tanpa bergantung pada produk TIK tertentu [http://arvantc40s.blogspot.com/2012/02/i  nteroperabilitas-data-dalam-e.html, 08- 03-2012]. Sebagai contoh implementasi SOA, database kependudukan di Indonesia merupakan tanggungjawab Dinas Dukcapil dan dapat menyediakan service ke publik berupa informasi data series jumlah penduduk berdasarkan pendidikan, pekerjaan, dan lainnya. Sedangkan untuk pengguna lembaga pemerintah, service dapat diperluas dengan pemberian informasi yang lebih lengkap seperti nama, alamat, tanggal lahir, status dan lainnya, sehingga Dinas Kesehatan misalnya, dapat dengan memanfaatkannya untuk membangun informasi kesehatan bagi berbagai kepentingan. Melalui sharing informasi tersebut, data pokok (misal biodata penduduk) dapat dilengkapi dengan berbagai atribut yang dibutuhkan dalam sistem lain. Misal, seseorang dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tertentu, dapat dilengkapi dengan atribut dilengkapi dengan        atribut        data pendidikan di bagian Dinas Pendidikan, dilengkapi dengan atribut data kepemilikan barang di Dinas Pajak. Pada akhirnya, pemerintah akan memiliki data yang sangat lengkap tentang setiap penduduk Indonesia.
Interoperabilitas antar aplikasi Gov lahir akibat meningkatnya kebutuhan informasi multisektor, sementara di sisi lain ada tuntutan independensi dan loose coupling antar aplikasi. Secara logika dimungkinkan membangun satu aplikasi e-Gov yang mampu menampung semua data negara, namun secara fisik hal ini sulit diterapkan. Struktur pemerintahan Indonesia (pusat dan daerah) disusun atas beberapa sektor untuk tujuan profesionalisme. Untuk itu setiap instansi diharapkan membangun aplikasi e-Gov sesuai wilayah kerjanya, namun harus dibarengi dengan semangat sharing informasi ke publik dan antar lembaga, sehingga pengembangan e-Gov dapat dilaksanakan sesuai dengan konsep yang benar yaitu mampu memberikan layanan elektronik penuh pada tiga ranah, yaitu G2G, G2B, dan G2C.



METODE
Makalah ini merupakan hasil review kritis atas pustaka yang relevan mengungkap perkembangan e-Gov di Indonesia, problem interoperabilitas, dan bagaimana model interoperabilitas antar aplikasi e-Gov dapat dibangun dengan mengimplementasikan pada model web services. Model interoperabilitas antar aplikasi e-Gov ditunjukkan dengan memanfaatkan model web services yang meliputi: model pemetaan proses pengambilan data antar aplikasi e-Gov; proses akses data menggunakan fungsi remote untuk pengambilan data antar aplikasi e-Gov; model infrastruktur interoperabilitas antar aplikasi e-Gov, serta implementasi pada model interoperabilitas antar aplikasi e-Gov.
PEMBAHASAN
Kebijakan pemerintah Indonesia tentang blueprint aplikasi e-Gov yang menggambarkan blok-blok fungsi-fungsi layanan, administrasi, dan kelembagaan yang disusun menjadi sebuah bagan fungsi yang disebut Kerangka Fungsional Sistem Kepemerintahan [Direktorat Gov, 2004]. Kerangka Fungsi Sistem Kepemerintahan tersebut terdiri atas empat kelompok dinas dan lembaga, yaitu: 1). kepemerintahan (meliputi pengelolaan barang daerah, katalog barang daerah, pendapatan daerah, perusahaan daerah; 2). kewilayahan (meliputi tata ruang dan lingkungan hidup; potensi daerah; kehutanan; pertanian, peternakan, perkebunan; perikanan dan kelautan; pertambangan dan energi; pariwisata, IKM); 3). kemasyarakatan (meliputi kesehatan, pendidikan, industri dan perdagangan, jaring pengaman sosial); serta 4) sarana dan prasarana (meliputi transportasi, jalan, jembatan, terminal, pelabuhan, sarana umum) [Direktorat e-Gov, 2004].
Dalam Kerangka Fungsional Sistem Kepemerintahan, aplikasi e-Gov disusun dan dikelompokan berdasarkan fungsi dan layanannya menjadi sebuah sistem kerangka arsitektur yang disebut Peta Solusi Aplikasi e-Gov. Aplikasi diklasifikasikan dengan pendekatan matrik orientasi fungsi layanan dan sifat fungsi aplikasi yang meliputi: 1) aplikasi layanan ke pengguna (front office), 2) aplikasi untuk pekerjaan administrasi kepemerintahan dan fungsi-fungsi kedinasan/kelembagaan (back office), dan 3) kelompok aplikasi yang bersifat mendasar/umum (back office). Masing­masing kelompok aplikasi tersebut, dibagi ke dalam tiga sub kelompok berdasarkan orientasi pengguna yang dilayaninya, yaitu: 1) aplikasi pada Government to Citizen (G2C), 2) Government to Business (G2B), dan Government to Government (G2G). Sedangkan standar kebutuhan untuk mengembangkan sebuah aplikasi e-Gov adalah: 1) reliable, 2) interoperable, 3) scalable, 4) user friendly, serta 5) integrateable [Direktorat e-Gov, 2004].
Interoperabilitas antar aplikasi Gov merupakan tuntutan yang semakin mendesak sebagai akibat dari adanya: 1) kebutuhan untuk melakukan pertukaran informasi secara cepat dan akurat, 2) kebutuhan untuk upgrade dan migrasi software, dan 3) kebutuhan data pada pemenuhan kebutuhan data-data pada multisektoral, setidaknya menghadapi tiga masalah, yaitu: 1). Masalah utama pada format data, 2). Masalah mekanisme pertukaran, dan 3). Masalah karena tidak semua instansi bersedia membuka detil internal aplikasinya ke pihak lain, dengan alasan keamanan data [Nugroho, 2008]. Aspek yang terkait dengan problem interoperabilitas adalah Miller [2000]: 1).Teknik, meliputi standar komunikasi, pemindahan, penyimpanan, dan penyajian data; 2). Semantik, yakni standar penggunaan istilah untuk indeks dan temu kembali; 3). Politis/manusia, yakni keputusan untuk berbagi dan bekerjasama; 4). Interkomunitas, yakni kesepakatan berhimpun antar lembaga dan disiplin ilmu; 5).Legal, terkait dengan peraturan akses koleksi digital dan peraturan HAKI; 6).Standar internasional, yaitu standar yang memungkinkan kerjasama internasional.
Kesulitan interoperabilitas antar aplikasi e-Gov juga diakibatkan oleh: 1). tidak dimilikinya dokumentasi sistem, 2). belum tersedianya kamus data (data dictionary) yang jelas, 3). Adanya perbedaan persepsi tentang konsep interoperabilitas, 4). Belum dikenalnya interoperabilitas sistem informasi, 5). Belum merasa membutuhkan adanya interoperabilitas sistem informasi, serta 6). belum menyadari perlunya sharing datahttp://arvantc40s.blogspot.com/2012/02/interoperabilitas-data-dalam-e.html,(08-03-2012]. Sedangkan Setyantana [2009] menyatakan bahwa adanya problem interoperabilitas antar aplikasi e-Gov di Indonesia adalah terdapat banyak aplikasi yang dikembangkan secara terpisah dan tidak terintegrasi, bahkan banyak yang akan dikembangkan tidak menggunakan metode sistem database (RDBMS), sehingga sulit diintegrasikan dengan sistem lain. Sistem juga dikembangkan dengan teknologi tertutup yang berbeda, seperti FoxPro, dBase, Visual Basic, Delphi, PowerBuilder Terhadap problem tersebut, Setyantana [2009] menyampaikan usulan solusi sebagai berikut: 1). Perlu solusi untuk pertukaran data dan informasi antar sistem. 2). Solusi berarsitektur terbuka dan memungkinkan interoperabilitas. 3). Lebih diutamakan memakai OSS. 4). Setiap wali data menyediakan data yang dibutuhkan lembaga lain. 5). Perlu ada kebijakan agar aplikasi yang dibangun oleh satu lembaga yang siap berinteroperabilitas dengan aplikasi di lembaga lain (dengan menyediakan service).
Interoperabilitas antar aplikasi e-Gov tidak sekedar untuk dipahami sebagai persiapan oleh suatu lembaga sentral yang bekerja memfasilitasi, mendiktekan spesifikasi, dan proses baku. Namun, interoperabilitas harus merupakan konsensus implementasi bersama kerangka kerja (framework) yang telah ditetapkan, dan setiap lembaga tetap berwenang membuat keputusan terkait pemilihan hardware dan software yang digunakan. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari solusi interoperabilitas antar aplikasi e-Gov adalah terbentuknya Sistem Informasi yang terintegrasi dan dapat saling berkomunikasi.
Mengacu pada konsep-konsep interoperabilitas menggunakan web services, maka aplikasi-aplikasi yang akan dikomunikasikan dapat dipetakan berdasarkan fungsi dan perannya dalam proses pertukaran data. Pertukaran data ini akan melibatkan tiga entitas, yaitu: 1). Provider entity sebagai penyedia sumber daya data dan informasi, 2). requester entity sebagai pengakses sumber daya informasi. 3). Agent/broker yang akan bertugas mengelola dan menyediakan fasilitas untuk registerasi, publikasi, dan penemuan sumber daya informasi. Agent/broker dapat disediakan oleh provider atau pihak lain yang memiliki fasilitas layanan publik yang sudah tersosialisasi dan diketahui oleh publik. Dengan mengacu pada model yang dikembangkan oleh Sukyadi [2009], pemetaan web services yang akan menggambarkan model interoperabilitas pada proses pengambilan data dari dua aplikasi e-Gov, yaitu e-Gov1 ke e-Gov2 ditunjukkan pada Gambar 1. Dalam Gambar 1, mekanisme akses data dari Gov1 ke e-Gov2 dilakukan melalui fungsi web services yang dipublikasikan, jadi tidak langsung mengakses ke database dalam aplikasi yang diakses, sehingga proses pertukaran data aman dilakukan. Mekanisme       tersebut juga tidak mengharuskan pengguna mengetahui platform (engine driver) pada database yang diakses.



Gambar 1: Pemetaan web services proses pengambilan data dari e-Gov1 ke e-Gov2


Keunggulan REST yang telah menggunakan format URI sehingga bebas dari bentuk format deskripsi, dapat mempercepat proses pengembangan dan lebih sederhana dibandingkan dengan metode SOAP. Karena itu, metode REST akan digunakan sebagai metode proses dalam web servive untuk interoperabilitas antar aplikasi e-Gov. Kasus kebutuhan akses data dibedakan menjadi 2, yaitu proses mengambil satu data dan proses mengambil sekelompok data    secara kolektif. Dengan
menggunakan model pada Gambar 1, kedua proses akses data dapat dilakukan melalui web services pada aplikasi Gov1 dengan menyediakan fungsi remote untuk mengambil satu data pada atribut1 disebut getMASTEReGov2 dan fungsi remote untuk mengambil sekelompok data pada atribut1 dan atribut2 disebut getMASTERSGov2. Mekanisme untuk masing-masing proses diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 2: Mekanisme pengambilan data dari e-Gov1 ke e-Gov2 dengan metode REST
Hubungan secara fisik mekanisme proses pertukaran antara aplikasi e-Gov1 dan e-Gov2 melalui web services dapat diperjelas menggunakan model infrastruktur web services. Model ini menjelaskan bahwa setiap aplikasi memiliki sumberdaya informasi yang bersifat publik dan dapat diakses oleh aplikasi lain yang membutuhkan. Setiap ada request data dari aplikasi lain melalui web services, maka web services dalam aplikasi provider akan melakukan pengolahan ke database internal. Fungsi­fungsi layanan tersebut dapat berada dalam aplikasi atau diletakkan dalam modul lain sehingga dapat dipakai secara bersama. Pendekatan yang dilakukan bisa melalui proses eksekusi fungsi secara langsung yang dilewatkan melalui parameter URI (dengan mencantumkan nama fungsi yang akan diproses). Alternatif lain adalah proses eksekusi fungsi secara tidak langsung melalui proses interpretasi fungsi ke dalam nama umum, sehingga pada saat nama umum fungsi dilewatkan melalui parameter URI akan diterjemahkan dahulu ke dalam daftar nama fungsi yang bersifat internal. Cara kedua ini biasa digunakan untuk menjaga keamanan data dari akses pihak luar yang ingin mengakses secara  langsung ke dalam fungsi-fungsi internal. Pada Gambar 3 menampilkan model infrastruktur interoperabilitas antara aplikasi e-Go dan e-Gov2.

Gambar 3: Model infrastruktur interoperabilitas antara aplikasi e-Gov1 dan e-Gov2

Rancangan model interoperabilitas antar aplikasi e-Gov yang menggunakan model arsitektur web services menggunakan metode REST, terdiri dari tiga rancangan yaitu Rancangan provider, Rancangan agent/broker dan Rancangan requester.
Rancangan provider, meliputi: 1).Menentukan fungsi sumberdaya informasi publik yang meliputi: Membuka koneksi database. Jika koneksi berhasil, lakukan akses data sesuai kriteria dan kembalikan nilai fungsi dalam array. Jika koneksi gagal, kembalikan nilai fungsi dengan nilai false. 2). Menentukan nama sumberdaya informasi publik pada web services, yaitu struktur format parameter URI acuan sebagai deskripsi web application description language (WADL), dengan parameter: a) resource, b) format input (XML atau TXT), c) format output (XML, TXT, atau HTML), dan d) data input. 3). Membuat script program aplikasi web services (sebagai RPC) untuk mengolah request parameter URI (WADL) yang dikirim oleh requester agar dapat melakukan validasi dan memberikan hasil sesuai kriteria yang diminta melalui pemetaan parameter resource terhadap nama fungsi internal. Langkahnya sebagai berikut: a).Menentukan absolute path berkas web services sebagai basis path. b).Menggabungkan modul fungsi yang terkait ke dalam program. c). Mengecek kelengkapan struktur parameter URI. d).Jika parameter lengkap, petakan nama reosurce ke dalam nama fungsi, konversi format data input ke dalam variabel untuk paramater fungsi, jika fungsi ditemukan jalankan fungsi dengan input parameter, kembalikan hasil fungsi ke dalam variabel hasil, konversikan nilai variabel hasil jika berupa format XML atau HTML e.) Jika parameter tidak lengkap, yaitu nama resource tidak dapat dipetakan ke dalam fungsi, fungsi tidak ditemukan, atau tidak ada hasil proses fungsi, maka isi variabel hasil dengan pesan kesalahan. f). Tampilkan nilai variabel hasil sebagai script yang akan diolah oleh web server
Rancangan agent/broker; yaitu menyediakan aplikasi web services untuk proses registrasi (registry) dan penemuan kembali (discovery) untuk memudahkan pengelolaan dan pencarian layanan dengan cara melalukan pencatatan dalam database, langkahnya: 1). Membuat struktur database untuk registry/discovery layanan publik. 2). Membuat aplikasi web server untuk registrasi provider dan service. 3). Membuat aplikasi web server yang bersifat publik dan modul registrasi untuk mendapatkan kunci akses publik bagi requester
Rancangan requester; requester dapat menggunakan fungsi layanan setelah memperoleh perintah URL pada browser di client. Jika hasil dari fungsi layanan akan digunakan sebagai sumber data hasil pengolahan, maka perintah tersebut perlu dimasukkan ke dalam kode program requester melalui fungsi komunikasi dalam bahasa pemrograman (socket) atau pengolahan file jarak jauh (PHP, ASP, JSP). Ilustrasi implementasi pada model interoperabilitas antar aplikasi e-Gov tampak di Gambar 4.

Gambar 4: Implementasi rancangan model interoperabilitas antara e-Gov1 dan e-Gov2


KESIMPULAN
Pemodelan interoperabilitas antar aplikasi e-Gov yang berbeda dapat dikembangkan melalui cara pemanfaatan teknologi web services. Pemanfaatan teknologi web services dalam pertukaran data antar dua aplikasi e-Gov mampu menunjukkan prinsip interoperabilitas.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Drs. Jazi Eko Istiyanto, M.Sc, Ph.D. yang secara inspiratif mampu memotivasi penulis untuk terus belajar tentang “interoperabilitas”.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadjayadi, C., 2006, Standarisasi Menuju Interoperabilitas e­Government, makalah keynote speech pada Workshop Standarisasi    Menuju Interoperabilitas      e-Government, Jakarta.
Chen, D., dan Vernadat, F., 2004, Standards on Enterprise Integration and Engineering-A State of the Art, International Journal of Computer Integrated Manufacturing, 17(3), pp.235-253.
Direktorat e-Government, Depkominfo, 2004, Blueprint Sistem Aplikasi e­Government, Jakarta.
Doumeingts, G., Vallespir, B., and Chen, D., 1998, GRAI GridDecisional Modelling, in Handbook on Architectures of Information Systems, Second Edition, Peter Bernus, Kai Mertins and Günter Schmidt (Editors), pp. 321-346, Springer Berlin Heidelberg,.
DSIPLK (Direktorat Sistem Informasi, Perangkat Lunak & Konten), Depkominfo, 2008, Kerangka Acuan & Pedoman Interoperabilitas Sistem Informasi Instansi Pemerintahan, Jakarta.


Fielding R.T., 2000, Architectureal Style
& Design of Network-Based Software Architecrues, Ph.D. Thesis, Department of Information & Computer Science, University of California, Irvine.
Indrajit, R.E., 2006, Evolusi Strategi Integrasi Sistem Informasi Ragam Institusi, Kiat Memecahkan Permasalahan Politis dalam Kerangka Manajemen Perubahan, Prosiding KNTIK untuk Indonesia dipresentasikan tanggal 3-4 Mei 2006, ITB, Bandung.
Inpres No. 3 Tahun 2003, Kebijakan & Strategi Nasional Pengembangan E-Government, Jakarta.
Inpres No. 6 Tahun 2001, Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) , Jakarta.
Lucky, 2008, XML Web services: Aplikasi Desktop, Internet & Handphone, Jasakom.
Michel, J.J.,   1997, Manufacturing,
Modelling and Integration, Presentation at a meeting of the Computer Department at CETIM (slides).
Miller, P., 2000, Interoperability: What is it and Why should I want it?, http://www.ariadne. ac.uk/issue24/interoperability/, diakses: 05-03-2012.
Molina, A., Panetto, H., Chen, D., Whitman, L., Chapurlat, V., Vernadat, F.B., 2007, Enterprise Integration and Networking: Challenges and Trends, Studies in Informatics and Control, 16/4, Informatics and Control Publications, December 2007.
Nugroho, L.E., 2008, Interoperabilitas, Modul Kuliah MTI-UGM, Yogyakarta.
Pascual, P.J., 2003, e-Government, e­Asean Task Force UNDP- APDIP, May 2003.
Pautasso, 2008, C., 2008, REST vs SOAP Making the Right Architectural Decision, SOA Symposium, Amsterdam
Raharjo, B., 2001, Membangun e-
Government, ITB, Bandung.
Setyantana, P., 2009, Interoperabilitas Sistem     Informasi,         Makalah  dipresentasikan dalam Pelatihan oleh Direktorat Sistem Informasi Perangkat Lunak & Konten, Direktorat Jenderal Aplikasi
Telematika, Depkominfo RI, tanggal: 27/28-05-2009, Sragen.
Shorter, D.N., 1997, Requirements for Enterprise Model Execution and Integration Services, in: Kosanke, K. & Nell, J.G. (Eds.) Enterprise Engineering & Integration: Building International Consensus, pp. 235- 243, Springer-Verlag, Berlin.
Sukyadi, D., 2009, Model Interoperabilitas Sistem Informasi Layanan Publik Studi Kasus: e-Government, Karya Akhir, Prodi Magister Teknologi Informasi, Fasilkom, UI, Jakarta.
Supangkat, S.H., 2006, Framework Strategi Implementasi E-Government, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia


, ITB, 3-4 Mei 2006.
Supangkat, S.H., Sembiring, J., dan Rahmad, B., 2007, IT Governance Nasional: Urgensi dan Kerangka


Konstruksi, makalah Pertemuan Dewan TIK Nasional, 8-01-2007.
Utomo, W.H., 2011, Integrasi B2B Berbasis SOA Menggunakan Web services, Disertasi Program Doktor Ilmu Komputer, UGM, Yogyakarta.
WWW Consorsium, 2004, Web services Architectures,
http://www.w3.org/TR/ws­arch/#whatis, diakses: 08-03-2012.
, 2012, Interoperabilitas Data Dalam e-Goverment
http://arvantc40s.blogspot.com /2012/02/interoperabi litas-data­dalam-e.html, diakses: 08-03- 2012.
....... ,http://dishubkominfo.belitungkab.go.i
d/, diakses: 08-03-2012.

Jazi Eko Istiyanto1, Edhy Sutanta, 2012,Jurusan Ilmu Komputer, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 27 Januari 2012

Komentar

Postingan Populer