Pasal-pasal "Ranjau" di Era Digital
Akhir tahun 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan naskah revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Poin penting di dalamnya adalah pengurangan ancaman pidana dari 6 tahun menjadi 4 tahun. Artinya, praktik pembungkaman warga tetap bakal berlanjut.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyimak penuturan Wi (nama disamarkan), warga Bandung, yang menjalani persidangan dengan dakwaan pelanggaran pasal pencemaran nama baik menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), beberapa waktu lalu.
Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diundangkan hingga sekarang, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, sudah ada 134 orang yang menjadi korban Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik melalui dunia online (dalam jaringan). Dilihat dari kecenderungannya, setiap tahun jumlah korban terus bertambah.
Dari tahun 2008-2011 rata-rata hanya ada sekitar 2 kasus per tahun. Namun, mulai 2012, jumlahnya melonjak menjadi sekitar 7 kasus, kemudian 20-an kasus pada 2013, lalu melonjak dua kali lipat lagi menjadi lebih dari 40 kasus pada 2014, dan terakhir lebih dari 50 kasus pada 2015.
Yang paling memprihatinkan adalah, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut banyak digunakan oleh penguasa untuk membungkam warga negara yang menyampaikan ekspresi, informasi ataupun advokasi melalui internet. Jelas terlihat nuansa "pasal ranjau" dalam UU ini.
"Mayoritas kasus pencemaran nama baik melalui internet terjadi karena para korban mengkritik orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Jika ini terus dibiarkan, kebebasan berekspresi masyarakat akan semakin terkekang," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin, awal Januari lalu.
Pada 2009, LBH Pers sebenarnya telah mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi RI dan meminta MK untuk mencabut Pasal 27 UU ITE. Namun, MK menolak pengajuan gugatan tersebut.
Menyikapi keresahan yang sama, beberapa organisasi masyarakat sipil, meliputi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Forum Demokrasi Digital, Indonesia Center for Deradicalization and Wisdom, Information and Communication Technologies (ICT) Watch-Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan Yayasan Satu Dunia, mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pembahasan revisi UU ITE. Revisi UU ini bukan dalam rangka membebaskan para korban, tetapi untuk melindungi warga negara Indonesia yang hendak menyampaikan kebenaran dan menggunakan haknya berekspresi dan berinformasi secara benar di internet.
"Sepatutnya revisi UU ITE tersebut sekaligus mengeluarkan pasal pemidanaan pencemaran nama baik, tidak cukup hanya sekadar mengurangi ancaman hukumannya saja," ujar Ketua Umum AJI Suwarjono.
Selain keberadaan UU ITE, kehadiran pasal penghinaan kepala negara dalam draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diusulkan pemerintah semakin menguatkan kesan adanya upaya-upaya pemberangusan kebebasan berekspresi secara sistematis oleh pemerintah. Bahkan, pada Desember 2015, mengemuka usulan RUU Contempt of Court (penghinaan pengadilan) dengan ancaman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) bagi siapa saja yang memublikasikan proses persidangan dan dinilai bertendensi atau memengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim.
Ancaman di era digital
Munculnya rententan "pasal-pasal ranjau" ini rentan membatasi dinamika kebebasan berekspresi yang mulai bertumbuh sejak masa reformasi 18 tahun lalu. Ancaman UU ITE menjadi semakin serius karena tren pemanfaatan internet di Indonesia terus meningkat.
Di Indonesia dan seluruh dunia, peran internet mulai mengalahkan dominasi media konvensional. Banyak masyarakat yang sekarang lebih suka melihat video streaming daripada menonton televisi.
Jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta orang atau 34,9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (UI) 2014 menunjukkan, sejak 2005, jumlah pengguna internet di Indonesia melonjak dari 16 juta orang menjadi 88,1 juta orang. Dari jumlah tersebut, 85 persen pengguna internet mengakses internet melalui telepon seluler.
Kian longgarnya akses pemanfaatan internet membuat siapa pun bisa memungut dan menyebarkan informasi. Namun, siapa pun juga berpeluang terjerat UU ITE.
Kriminalisasi narasumber
Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, pada ranah jurnalistik, dari sisi substansi, UU ITE berlawanan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang memberi ruang leluasa bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pengekangan kebebasan berekspresi tak lepas dari perjuangan kebebasan pers. Belakangan ini, pola ancaman kebebasan pers berubah. Jika dulu media atau jurnalis sering menjadi korban atau terlapor, kini yang jadi terlapor atau korban adalah narasumber berita.
Sebagai contoh, kasus yang menimpa dua komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki (Ketua) dan Taufiqurahman Sauri, yang dilaporkan Hakim Pengadilan Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi. Kasus serupa juga dialami aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo, serta mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Said Zainal Abidin. Ketiganya dilaporkan Romli Atmasasmita, salah satu kandidat panitia seleksi KPK.
"Jika kasus ini terus terjadi, tak tertutup kemungkinan akan ada chilling effectatau keadaan di mana masyarakat enggan berkomentar karena takut terkena kriminalisasi. Jika masyarakat terjangkit itu, kebebasan pers akan kian buram," kata Nawawi.
LBH Pers mendesak Kepala Polri beserta jajarannya mematuhi nota kesepahaman Kepala Polri dengan Dewan Pers dalam menyelesaikan kasus-kasus terkait media dan meminta kepada masyarakat umum untuk menggunakan UU Pers jika merasa dirugikan pemberitaan media.
sumber :
Kompas | 24 Januari 2016 56
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyimak penuturan Wi (nama disamarkan), warga Bandung, yang menjalani persidangan dengan dakwaan pelanggaran pasal pencemaran nama baik menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), beberapa waktu lalu.
Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diundangkan hingga sekarang, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, sudah ada 134 orang yang menjadi korban Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik melalui dunia online (dalam jaringan). Dilihat dari kecenderungannya, setiap tahun jumlah korban terus bertambah.
Dari tahun 2008-2011 rata-rata hanya ada sekitar 2 kasus per tahun. Namun, mulai 2012, jumlahnya melonjak menjadi sekitar 7 kasus, kemudian 20-an kasus pada 2013, lalu melonjak dua kali lipat lagi menjadi lebih dari 40 kasus pada 2014, dan terakhir lebih dari 50 kasus pada 2015.
Yang paling memprihatinkan adalah, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut banyak digunakan oleh penguasa untuk membungkam warga negara yang menyampaikan ekspresi, informasi ataupun advokasi melalui internet. Jelas terlihat nuansa "pasal ranjau" dalam UU ini.
"Mayoritas kasus pencemaran nama baik melalui internet terjadi karena para korban mengkritik orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Jika ini terus dibiarkan, kebebasan berekspresi masyarakat akan semakin terkekang," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin, awal Januari lalu.
Pada 2009, LBH Pers sebenarnya telah mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi RI dan meminta MK untuk mencabut Pasal 27 UU ITE. Namun, MK menolak pengajuan gugatan tersebut.
Menyikapi keresahan yang sama, beberapa organisasi masyarakat sipil, meliputi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Forum Demokrasi Digital, Indonesia Center for Deradicalization and Wisdom, Information and Communication Technologies (ICT) Watch-Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan Yayasan Satu Dunia, mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pembahasan revisi UU ITE. Revisi UU ini bukan dalam rangka membebaskan para korban, tetapi untuk melindungi warga negara Indonesia yang hendak menyampaikan kebenaran dan menggunakan haknya berekspresi dan berinformasi secara benar di internet.
"Sepatutnya revisi UU ITE tersebut sekaligus mengeluarkan pasal pemidanaan pencemaran nama baik, tidak cukup hanya sekadar mengurangi ancaman hukumannya saja," ujar Ketua Umum AJI Suwarjono.
Selain keberadaan UU ITE, kehadiran pasal penghinaan kepala negara dalam draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diusulkan pemerintah semakin menguatkan kesan adanya upaya-upaya pemberangusan kebebasan berekspresi secara sistematis oleh pemerintah. Bahkan, pada Desember 2015, mengemuka usulan RUU Contempt of Court (penghinaan pengadilan) dengan ancaman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) bagi siapa saja yang memublikasikan proses persidangan dan dinilai bertendensi atau memengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim.
Ancaman di era digital
Munculnya rententan "pasal-pasal ranjau" ini rentan membatasi dinamika kebebasan berekspresi yang mulai bertumbuh sejak masa reformasi 18 tahun lalu. Ancaman UU ITE menjadi semakin serius karena tren pemanfaatan internet di Indonesia terus meningkat.
Di Indonesia dan seluruh dunia, peran internet mulai mengalahkan dominasi media konvensional. Banyak masyarakat yang sekarang lebih suka melihat video streaming daripada menonton televisi.
Jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta orang atau 34,9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (UI) 2014 menunjukkan, sejak 2005, jumlah pengguna internet di Indonesia melonjak dari 16 juta orang menjadi 88,1 juta orang. Dari jumlah tersebut, 85 persen pengguna internet mengakses internet melalui telepon seluler.
Kian longgarnya akses pemanfaatan internet membuat siapa pun bisa memungut dan menyebarkan informasi. Namun, siapa pun juga berpeluang terjerat UU ITE.
Kriminalisasi narasumber
Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, pada ranah jurnalistik, dari sisi substansi, UU ITE berlawanan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang memberi ruang leluasa bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pengekangan kebebasan berekspresi tak lepas dari perjuangan kebebasan pers. Belakangan ini, pola ancaman kebebasan pers berubah. Jika dulu media atau jurnalis sering menjadi korban atau terlapor, kini yang jadi terlapor atau korban adalah narasumber berita.
Sebagai contoh, kasus yang menimpa dua komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki (Ketua) dan Taufiqurahman Sauri, yang dilaporkan Hakim Pengadilan Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi. Kasus serupa juga dialami aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo, serta mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Said Zainal Abidin. Ketiganya dilaporkan Romli Atmasasmita, salah satu kandidat panitia seleksi KPK.
"Jika kasus ini terus terjadi, tak tertutup kemungkinan akan ada chilling effectatau keadaan di mana masyarakat enggan berkomentar karena takut terkena kriminalisasi. Jika masyarakat terjangkit itu, kebebasan pers akan kian buram," kata Nawawi.
LBH Pers mendesak Kepala Polri beserta jajarannya mematuhi nota kesepahaman Kepala Polri dengan Dewan Pers dalam menyelesaikan kasus-kasus terkait media dan meminta kepada masyarakat umum untuk menggunakan UU Pers jika merasa dirugikan pemberitaan media.
sumber :
Kompas | 24 Januari 2016 56
Komentar