PENGENDALIAN TATA RUANG KOTA MAKASSAR SEBAGAI UPAYA PENGURANGAN RESIKO BENCANA




1.1.    Latar Belakang
Berdasarkan RTRW Kota Makassar, kawasan dengan tingkat komplikasi, tingkat strategis, dan tingkat sensitifitas yang tinggi yang dapat memberi dampak vital bagi perkembangan pembangunan Kota diantaranya: Kawasan sungai Sungai Tallo, yang berada sepanjang koridor Sungai Tallo dan bermuara di bahagian Utara Kota serta disebut DAS Tallo, dan Kawasan Sungai Jeneberang yang berada sepanjang koridor Sungai Jeneberang terletak di bahagian selatan Kota serta disebut DAS Jeneberang.
Data yang dikumpulkan dan pengamatan yang telah dilakukan bahwa wilayah Kota Makassar setiap tahun telah menjadi langganan banjir khususnya di daerah-daerah hulu atau daerah  layanan (catchment area), seperti kawasan Antang, Manggala, Panakukang, Tamalanrea, biringkanaya, Minasa Upa dan beberapa kawasan kota lainnya. Selain intensitasnya, cakupan kejadian banjir di Kota Makassar juga semakin luas dan permukaan air semakin tinggi. 
Korban Bencana banjir yang terjadi di Kota Makassar setiap tahun meningkat. Pada bulan januari 2013 Korban Bencana banjir sebanyak 12.251 KK atau  47.028 jiwa dengan harta benda berupa rumah rusak ringan 10.879 unit, sekolah 7.702 unit. Pada Tahun 2012 sebanyak 654  KK atau  2397  jiwa dengan harta benda berupa rumah rusak ringan 462unit.  Selain korban jiwa, bangunan dan harta benda juga menyebab kerusakan sarana dan prasarana fasilitas publik, jalan, sekolah dan memutuskan jalur transportasi, mengakibatkan pemadaman listrik, Mengangganggu aktivitas sehari-hari, Menganggu atau bahkan merusak perekonomian, Mencemari lingkungan dan  mendatangkan gangguan kesehatan.
Permasalahan bencana banjir di Kota Makassar sudah saatnya memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang sistematis. Kejadian banjir yang melanda beberapa kawasan Kota ini selama beberapa tahun terakhir sebagai indikasi bahwa penanggulangan yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana sebagai upaya pencegahan bencana  atau pengurangan resiko bencana akibat  proses pembangunan yang terus digalakkan.
Dilihat dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai dalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.  Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Dalam rangka melakukan penataan kawasan banjir akibat semakin kurangnya ruang terbuka hijau dan wilayah resapan air serta semakin luasnya wilayah genangan atau banjir, sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ruang semakin meningkat,  maka diperlukan pendekatan pengelolaan ruang wilayah secara bijaksana dengan mempertimbangkan data resiko kawasan rawan bencana, strategi pencegahan bencana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam lingkungan yang berkelanjutan, yang kemudian disebutkan dengan pendekatan penataan ruang yang berbasis pengurangan resiko bencana.

1.2.            Maksud Dan Tujuan
Maksud dilakukannya Penelitian ini untuk melakukan analisa terhadap pemanfaatan lahan dan penataan ruang di Kota Makassar yang mendukung upaya mengurangi resiko bencana sesuai  amanah Undang-Undang  Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana. Sedangkan tujuan adalah (1) Untuk mengetahui kemampuan pemerintah Kot Makassar mengenai sistem penataan ruang sebagai strategi pencegahan resiko bencana banjir, selanjutnya 2) diharapkan menjadi rujukan atau rekomendasi rencana tata ruang wilayah kota makassar tahun 2015-2020 yang berbasis spatial kebencanaan di wilayah Kota Makassar dan sekitarnya.

II    HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1.        Landasan Normatif Penanggulangan Bencana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penanganan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi sedangkan Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap a. prabencana, b. saat tanggap darurat, dan c. pascabencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana meliputi: a). dalam situasi tidak terjadi bencana; dan b). dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam  situasi tidak terjadi bencana  meliputi: 1) perencanaan penanggulangan bencana; 2) pengurangan risiko bencana; 3) pencegahan; 4) pemaduan dalam perencanaan pembangunan; 5) persyaratan analisis risiko bencana; 6) pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; 7) pendidikan dan pelatihan; dan 8 persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Berdasarkan Undan-Undang Nomor 26 Tahun 27 Tentang Pentaraan Ruang bahwa Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Lebih lanjut mengenai ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Kemudian dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah, strategi penataan ruang harus didasarkan kepada arahan yang jelas dan terarah dalam menetapkan kawasan rawan bencana, kawasan budidaya (permukiman, perdagangan, pusat pemerintahan, pertanian, perkebunan, dll) berbasis bencana, pengembangan buffer zone di kawasan rawan bencana serta pengembangan infrastruktur yang mendukungnya. Hal ini juga perlu disertai dengan pedoman pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan agar masyarakat selalu siap dan waspada apabila sewaktu-waktu terjadi bencana.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri  Nomor 33 Tahun 2006 Tentang  Pedoman Umum Mitigasi Bencana Disebutkan Bahwa Manajemen Kajian Resiko Bencana Ke Dalam Perencanan Tata Ruang/Tata Guna Lahan yaitu:
  1. Meningkatkan zonasi yang sudah ada tentang tata ruang/tata guna lahan yang didasarkan pada kajian resiko.
  2. Menyediakan lapangan terbuka untuk zona perantara (Butter Zona), evaluasi dan akses darurat.
  3. Memberikan rekomendasi tentang perlakukan khusus daerah rawan dan berbahaya.
  4. Memberikan  rekomendasi tentang penanganan khusus dalam kajian resiko untuk daerah dengan bangunan.
  5. Mendidik secara rutin dan melakukan studi banding tentang mitigasi bencana.
  6. Melakukan studi di daerah tertentu untuk memahami mekanisme bencana susulan seperti banjir, pencemaran air minum dan seterusnya.
  7. Menyiapkan database pada studi bencana termasuk sarana dan prasarana Early Warning System (EWS).

2.2.        Tantangan Kota Makassar dalam Pengendalian Kawasan
Berdasarkan hasil survey, analisa data, pengamatan terhadap berbagai faktor mengenai Pengendalian Kawasan Rawan Banjir Kota Makassar, berikut ini dilakukan analisa SWOT untuk mengklasifikasikan kekuatan, peluang, tantangan dan kelemahan kota Makassar dalam Pengendalian Kawasan Banjir, yaitu :
a.      Kekuatan (strength)
Beberapa kekuatan (strength) yang dapat digunakan   antara lain,    sebagai berikut :
1)   Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
2)   Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
3)   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
4)   Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5)   Terbentuknya BPBD Kota Makassar sebagai badan yang berfungsi Badan koordinasi, komando dan pelaksana Penanggulangan bencana berdasarkan Peratuan Walikota Makassar Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Makassar.
6)   Perda No Daerah No 2 Tahun 2011 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Makassa.
b.      Peluang (Opportunities)
Beberapa peluang (opportunities) yang dapat dimanfaatkan, antara lain   sebagai berikut :
1)   Mengurangi ancaman bencana sudah menjadi komitmen pemerintah, masyarakat dan dunia usaha;
2)   Telah berkembangnya kapasitas organisasi masyarakat dan organisasi non pemerintah seperti SAR, PMI, TAGANA dan sebagainya;
3)   Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kondisi daerah yang aman bencana;
4)   Penerapan Otonomi Daerah.
5)   Persetujuan melakukan Hibah Langsung
c.       Tantangan (Threats)
Beberapa tantangan (threats) yang perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut :
1)   Belum disahkanya atau masih dilakukan pembahasan draft rencana tata ruang kota Makassar 2015-2025
2)   Kepedulian dan ketangguhan masyarakat yang masih harus  ditingkatkan;
3)   Kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana masih harus ditingkatkan;
4)   Penyusunan SOP dan Protap belum ditetapkan sebagai peraturan daerah atau peraturan walikota.
5)   Dis-harmonisasi Tupoksi antara lembaga yang menangani penanganan penanggulangan bencana ditingkat Kota;
6)   Kebijakan sektor yang kurang berorientasi kepada upaya penanggulangan bencana;
7)   Meningkatnya jumlah penduduk urban yang mendesak pertumbuhan kawasan perumahan.           
8)   Masih rendahnya kesadaran masyarakat mengenai upaya pengurangan resiko genangan dan banjir.
d.      Kelemahan (Weakness)
Beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan antara lain, sebagai berikut:
1)   Penataan Ruang Kota Makassar belum berbasis mitigasi dan kebencanaan.
2)   Belum tersusunnya RDTR Kawasan Lindung rawan bencana.
3)   Belum tersusunnya Zoning Regulatioan Kawasan Rawan Bencana.
4)   Pengendalian pembangunan yang tidak mendukung upaya pengurangan resiko bencana masih lemah.
5)   Pemberian Ijin Lokasi, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) belum menyesuaikan data wilayah rawan bencana dan RTBL pada wilayah terdampak.
6)   Ringannya sanksi terhadap seseorang dan badan usaha yang melanggar tata ruang.
7)   Sistem drainase yang belum terkoneksi dengan saluran utama dan banyak yang tertutup dengan sedimen dan sampah.
8)   Sarana dan prasarana kerja yang terbatas;
9)   Masih Terbatasnya informasi daerah rawan bencana.

III.     KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat ditarik kesimpulan dan disampaikan saran sebagai berikut.
  1. Rencana tata ruang, dan proses penataan ruang secara keseluruhan di Kota Makassar, sejauh ini belum memperhatikan kawasan yang cukup rentan terhadap bencana, konversi pemanfaatan lahan yang tidak terkendali, dan inefisiensi pengaturan fungsi ruang.
  2. Indikasi jumlah Korban Bencana banjir dan luas genangan/banjir, sehingga diperlukan pengendalian tata ruang yang berbasis kebencanaan, seperti Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang memasukkan pertimbangan mitigasi kawasan rawan bencana, peraturan zonasi (zoning regulation) khusus wilayah sempadan atau Penyusunan RTBL pada kawasan yang terbangun (micro zoning) untuk pengurangan resiko bencana, serta penyusunan Peraturan walikota atau Peraturan daerah  tentang Sistem perijinan, pengawasan dan penertiban kawasan rawan banjir.
  3.  Pemerintah Kota Makassar perlu melakukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar pemanfaatan ruang tetap sesuai tujuan yaitu mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.


DAFTAR RUJUKAN
Pemerintah Kota Makassar, 2006, Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015.
Republik Indonesia, 2002. Undang Undang Nomor 28 Tahun 202 tentang Bangunan Gedung. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134.
Republik Indonesia, 2007. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tetang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.
Republik Indonesia, 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Republik Indonesia, 2007. Undang Undang Nomor 24Tahun 2007 tetang Penanggulangan Bencana.
United Nations, 2009. Risk and poverty in a changing climate. 2009 Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction. ISDR (2009) Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction. United Nations, Geneva, Switzerland.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum,  tentang edoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir.
Republik Indonesia, 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
World Bank, 2005. Natural Disaster Hotspots, A Global Risk Analysis. Washington, DC: Disaster Risk Management Series, 2005.

Komentar

Postingan Populer